Pada awalnya, systems thinking muncul sebagai sebuah
reaksi terhadap kesulitan-kesulitan sains untuk menghadapi berbagai
permasalahan dalam sistem kompleks. Menurut Chapra (1994), penggagas awal systems thinking muncul dari para ahli
biologi yang memandang bahwa organisme hidup merupakan suatu keseluruhan dan
sifat-sifatnya tidak dapat dipisahkan atau direduksi menjadi bagian-bagian yang
lebih kecil. Sebagai pionirnya adalah Ludwig von Bertalanffy
dengan General Systems Theory-nya.
Ide mengenai systems thinking ini
kemudian diperkaya oleh para ahli psikologi yang memandang bahwa organisasi
hidup tidak dapat dipersepsi sebagai elemen yang terisolasi, akan tetapi harus
dipersepsi dalam konteks pola-pola persepsi yang terintegrasi. Dalam hal ini,
keseluruhan menjadi lebih dari sekedar penjumlahan bagian-bagiannya. Kontributor ketiga datang dari para ahli ekologi yang
memusatkan perhatian pada studi komunitas hidup (ekosistem), dan sekali lagi
mereka menolak melakukan reduksi suatu keseluruhan. Terakhir, ide systems thinking muncul dari para ahli
fisika kuantum, yang mempertanyakan kebenaran teori mekanika Newton (Maani,
2000; Capra, 1994).
Sejalan dengan
perkembangan teori systems thinking,
pada tahun 1947, Norbert Weiner dan John von Neumann mengembangkan kibernetika
(cybernetics), sains yang menjelaskan
hubungan antara manusia-mesin. Mereka mengembangkan suatu konsep penting
tentang umpan balik dan pengaturan-diri (self-regulation)
dalam bidang rekayasa dan memperluas konsep studi
pada pola-pola, yang secara cepat mendorong pada perkembangan teori
pengorganisasian-diri (self-organization).
Pada tahun 1950-an, Jay W. Forrester dari Massachusetss Institute of Technology
(MIT), memperkenalkan dan mende-monstrasikan penerapan teori pengendalian umpan
balik dalam bentuk simulasi model organisasi. Forrester selanjutnya
mengembangkan suatu bidang yang kemudian dikenal dengan system dynamics. Senge (1990) dan lainnya, juga dari MIT,
memperluas dan mengembangkan konsep sistem dinamik ini ke dalam lima disiplin
untuk pembelajaran organisasi. Salah satu bukunya yang cukup terkenal, The Fifth Dicipline: The Art and Practice of
the Learning Organization, Senge menempatkan systems thinking sebagai disiplin terakhir atau “disiplin kelima”
dalam organisasi pembelajaran (learning
organization). Dalam bukunya tersebut, Peter M. Senge juga menerapkan
penggunaan pola-pola dasar sistem (systems
archetypes) untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan yang umum
ditemukan dalam bidang bisnis dan manajemen.
Suatu pendekatan lain yang berbeda dari systems thinking dikembangkan dan
diperkenalkan di Inggris oleh Peter Checkland, dikenal dengan Soft Systems Methodology (SSM) pada awal
tahun 1980-an. SSM didasarkan pada pendapat bahwa faktor-faktor manusia dan
organisasi tidak dapat dipisahkan dari pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan. Pendekatan SSM ini kadang-kadang dianggap mengacu pada pendekatan
“British’ atau soft Operation Research (OR), berbeda dengan pendekatan
MIT, yang didasarkan pada system dynamics
(Maani, 2000) atau dengan kata lain bahwa sistem dinamik merupakan suatu
aplikasi praktis dari systems thinking
(Haraldsson, 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar